Oleh: Arif S
Indonesiainde.id – Sengaja baru sekarang ini saya menulis tentang Papua (tentu saja termasuk Papua Barat). Kalau saat kondisi Papua memanas, saya khawatir tulisan saya akan semakin menambah ketegangan yang terjadi di sana. Itu sebabnya saya menahan diri untuk menunggu beberapa saat.
Kondisi di Papua secara umum sudah mulai kembali ke arah normal walau masih ada beberapa riak dan gejolak yang belum sepenuhnya sirna. Di beberapa tempat, suasana mencekam masih terasa. Bangunan yang rusak atau dibakar karena unjuk rasa, terutama di Wamena, tentu saja belum bisa dikembalikan seperti kondisi semula.
Sebagian kecil warga sudah kembali ke tempat mereka tinggal untuk mengais rezeki selama ini. Akan tetapi masih jauh lebih banyak mereka yang mengungsi ke daerah asalnya di wilayah Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan lain-lain.
Secara resmi Papua (dulu bernama Irian Barat lalu sempat berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Tanggal itu ditetapkan saat terjadi penyerahan wilayah Papua dari pemerintah Kerajaan Belanda kepada Indonesia. Berdasarkan kesepakatan kedua negara, wilayah Indonesia adalah daerah yang menjadi jajahan Belanda. Dengan demikian, Papua atau Irian Barat pun termasuk wilayah yang harus diserahkan ke Indonesia.
Saat zaman Kerajaan Majapahit pun, Papua juga sudah menjadi bagian wilayah kerajaan yang dipimpin Hayam Wuruk dan Mahapatih Gadjah Mada. Kondisi itu diperkuat oleh penentuan pendapat rakyat (pepera) atau referendum tentang Irian.
Pada tanggal 2 Agustus 1969, pemerintah Indonesia mengadakan referendum di tanah Irian. Hasilnya dimenangkan oleh warga yang menginginkan bergabung dengan Indonesia. Hasil itu lalu dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui resolusi nomor 2524, PBB menetapkan secara resmi, bahwa Irian menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Ada kisah tersendiri tentang pemberian nama Irian saat itu. Pada 16 Juli 1946, kala diselenggarakan konferensi Malino di Ujungpandang (Makassar), tokoh Papua bernama Frans Kaiseipo mngusulkan perubahan nama wilayah di bagian paling timur Indonesia tersebut. Kaisiepo lalu mengganti nama Papua dengan Irian. Irian adalah kependekan dari Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland.
Dari jejak sejarah –kerajaan maupun penjajahan Belanda– ini jelaslah, bahwa Papua merupakan wilayah sah/resmi dari Indonesia dan tak bisa diganggu gugat. Jika kemudian ada yang mempersoalkan tentang warna kulit warga Papua yang berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia, sudah pasti itu tak bisa menjadi ukuran. Bukankah warga Nusa Tenggara Timur juga mayoritas berkulit gelap?
Di negara Amerika Serikat pun teramat banyak warganya yang berkulit merah (Indian) atau gelap (negro). Demikian pula di Australia. Suku Aborigin yang kini minoritas juga memiliki warna kulit yang bukan putih. Bukan hanya itu, kaum pendatang pun yang kemudian memilih tinggal dan menjadi warganegara Indonesia (keturunan Arab, Cina, India, dan lain-lain) juga termasuk keluarga satu bangsa dan negara.
Persoalan yang hingga kini masih mengganjal bagi warga Papua, terutama adalah kondisi ekonomi wilayah itu yang belum juga bisa beranjak menjadi sejajar dengan saudara-saudara di wilayah provinsi lain. Pemekaran wilayah Provinsi Papua Barat dilakukan pada tahun 1999. Tujuannya, tentu agar gerak pembangunan di wlayah itu bisa berjalan lebih cepat.
Penetapan otonomi khusus di Papua sejak 2001 (sesuai Undang_undang Nomor 21 Tahun 2001) juga dianggap belum banyak mengubah wilayah yang kaya sumber daya alam tersebut. Padahal, dana untuk otonomi khusus juga agar memacu kecepatan pembangunan di Papua juga tergolong besar.
Dana otonomi khusus 2019 di Papua mencapai Rp8,37 trililun. Ada pula tambahan dana infrastruktur sebesar Rp4,68 triliun. Bahkan menurut Menko Polhukam, Wiranto, anggaran pembangunan untuk Papua selama 2018 telah mencapai angka Rp92 triliun. Jumlah ini jauh melebihi pendapatan daerah tersebut yang tersedot ke pusat sebesar Rp26 triliun.
Seretnya perkembangan Papua seperti itu tentu saja bukan hanya menjadi kesalahan pemerintah pusat. Pejabat pemerintah di wilayah Papua juga layak diminta pertanggungjawaban. Mengapa tambahan dana besar itu tak juga membawa pengaruh berupa peningkatan kondisi sosial dan ekonomi di wilayah seluas 421.981 km2 tersebut? Bukan hanya omong kosong jika ada yang menuturkan, terlalu seringnya pejabat-pejabat di Papua meninggalkan wilayahnya dalam waktu yang cukup lama, hanya untuk sekadar ke Jakarta atau bahkan jalan-jalan ke tempat lain. Itu pun rutin dilakukan para pejabat di sana.
Dengan kondisi seperti itu, sangat masuk akal jika warga Papua merasa seperti tak mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Ini mungkin saja membuat waga Papua menjadi sangat sensitif. Sedikit saja ada ucapan atau ejekan yang membuat sakit hati mereka (termasuk ungkapan ‘monyet’ di Surabaya dan Malang), gelora kemarahan bisa meletup tinggi.
Kemarahan, reaksi, atau tuntutan warga Papua sebenarnya hal yang wajar saja. Mereka berhak memprotes, marah, berteriak, atau menuntut apa saja, termasuk saat ada ejekan bernada rasialis beberapa waktu lalu. Meski demikian, tetap ada batasan yang tak boleh mereka langgar.
Menuntut dan ibaratnya berteriak dengan keras adalah sah-sah saja. Itu merupakan ekspresi kekecewaan. Namun, berunjuk rasa dengan mengibarkan bendera bintang kejora serta mengabaikan merah-putih, menurut saya, itu tak boleh terjadi. Apalagi itu dilakukan di depan istana.
Warga Papua menganggap bendera itu sebagai lambang budaya dan warisan Belanda. Akan tetapi jika setiap unjuk rasa senantiasa mengibarkan bendera bintang kejora dan malah mengabaikan merah-putih, tentu ini kekeliruan yang harus dicegah. Pemerintah perlu tegas menyikapi hal ini.
Setiap tuntutan atau teriak kemarahan warga Papua juga hendaknya tak boleh menggaungkan referendum. Tuntutan referendum jelas bukan indikasi tindakan dan protes dari sebuah keluarga. Rasanya tidak ada anggota keluarga yang memprotes dan meminta untuk berpisah dengan keluarganya. Kalau masih ada yang memprotes dengan tuntutan referendum, itu harus dianggap sebagai kelompok yang memang bukan bagian dari keluarga besar Indonesia.
Satu lagi yang harus dihindari. Kemarahan dan protes tak boleh dilakukan dengan membunuh saudaranya. Tindakan menghilangkan nyawa seseorang harus mendapat hukuman berat dan tak boleh dibiarkan saja. Aparat harus berupaya keras untuk menangkap pelakunya. Saya pun menduga, tindakan membunuh itu dilakukan oleh mereka yang bukan (atau tak menghendaki menjadi) bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia.
Jadi, bagi saya, warga Papua tentu masih menjadi bagian keluarga besar bangsa Indonesia. Pengecualian hanya pantas diberikan pada mereka yang: setiap protes selalu mengibarkan bendera bintang kejora serta mengabaikan merah-putih, meneriakkan referendum, dan berperilaku membunuh saudaranya secara keji. (AS/YAN/INI Network)