Oleh Andryanto S
Sebuah negara pasti akan melalui pasang surut perekonomian. Seberapa pun kuatnya negara tersebut. Seberapa pun adidaya negara itu. Amerika Serikat misalnya, tentu kita masih ingat krisis kredit macet atau yang lebih dikenal dengan krisis subprime mortgage tahun 2008 silam. Atau, krisis utang Yunani–salah satu negara tertua di Eropa–tahun 2010, yang nyaris membangkrutkan negeri tersebut.
Pasang surut ekonomi layaknya ibarat perjalanan yang menghasilkan pengalaman ‘manis’ dan ‘pahit’ sehingga membuat hidup ini lebih berwarna. Untuk Indonesia, berbicara tentang pasang surut perekonomian, rasanya tak lengkap jika kita tidak mengungkap kiprah Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto. Terlepas dari pro dan kontra dari sisi politik, nama Pak Harto tetap menjadi magnet dari sisi ekonomi. Mengapa?
Bagi pendukungnya, Pak Harto adalah pahlawan yang membangun ekonomi Indonesia hingga tingkat kejayaannya. Tapi bagi penentangnya, pria kelahiran Kemusuk, Bantul, pada 8 Juni 1921 ini tetap dinilai sebagai pemimpin yang ditakuti.
Meski demikian, sejarah mencatat, pasang surut perekonomian Indonesia paling dirasakan pada era Pak Harto. Ketidakstabilan politik dan ekonomi selepas zaman Orde Lama mesti dipikul kala itu. Tahun 1966, setahun sebelum peralihan ke zaman Orde Baru, Indonesia sempat mengalami hiperinflasi yang mencapai 635% pada 1966.
Tahun 1967 merupakan momen penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Sesuai Surat Perintah Sebelas Maret, Pak Harto mulai menggantikan Bung Karno sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian tepatnya Maret 1968, Pak Harto disahkan sebagai presiden kedua Indonesia oleh Majelis Permusyarawatan Rakyat Sementara.
Dengan berbagai kebijakan ekonomi, pemerintah Orde Baru mampu meredam hiperinflasi itu menjadi 112%. Setelah itu, pembangunan ekonomi menjadi target utama. Bila sebelumnya negatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi positif bahkan naik pesat. Sampai-sampai pada dekade 1980-an, Soeharto dijuluki ‘Bapak Pembangunan’ karena berhasil mewujudkan swasembada pangan.
Adalah medali From Rice Importer To Self Sufficiency dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1984 yang diterima Presiden kedua Soeharto menjadi tonggak bersejarah negeri ini. Terlepas dari sisi politis, strategi pembangunan sektor pertanian pada masa Pak Harto memang berhasil mengantarkan Indonesia menjadi negara swasembada beras. Dan hal itu diakui dunia melalui FAO.
“Posisi Indonesia berubah dari pengimpor beras menjadi pengekspor beras terbesar. Ini prestasi membanggakan yang bisa jadi sumber pembelajaran generasi sekarang,” kata Rektor Universitas Trilogi Asep Saefuddin, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, keberhasilan pembangunan sektor pertanian tersebut tidak lepas dari perencanaan yang sangat matang yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam pembangunan pertanian dimulai dengan tahapan membangun infrastruktur, hingga memanfaatkan teknologi dan inovasi dari perguruan tinggi. Hasilnya beberapa komoditas pangan seperti beras, jagung, sayuran dan buah-buahan meningkat cukup signifikan.
Di bidang kesehatan, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana (KB) untuk mengendalikan jumlah penduduk. Program yang dinilai sukses secara internasional ini menjadikan Indonesia sebagai negara percontohan dan mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Tahun 80-an hingga 90-an, Indonesia mengalami kejayaan ekonomi. Indonesia nenjadi negara yang disegani di Asia.
Sejumlah tokoh atau lebih dikenal begawan ekonomi yang ikut mendukung pembangunan di zaman tersebut antara lain Prof Dr Widjojo Nitisastro (Kabinet Pembangunan II dan III). Sejak awal Orde Baru, dia telah dipercaya sebagai orang yang turut memikirkan dan bertanggungjawab terhadap perekonomian Indonesia. Tak heran bila ia sering disebut sebagai arsitek ekonomi Orde Baru.
Selain itu, Prof Dr Ali Wardhana, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria kelahiran Solo, 6 Mei 1928, ini menjabat menteri keuangan masa pemerintahan Orde Baru selama 10 tahun (1968-1983). Dan tentu masih banyak begawan ekonom lainnya yang juga berjasa pada zaman tersebut.
Sekilas sistem ekonomi pembangunan zaman Orde Baru dirangkum dalam rencana pembangunan lima tahun (repelita). Repelita ini seolah menjadi tonggak penting atau sering disebut milestone untuk istilah populer zaman now. Dalam Repelita 1, titik berat ditekankan pada pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Sedangkan Repelita II bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dan meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan Repelita III dan selanjutnya. Dan pada Repelita III lah, swasembada pangan mendapat porsi prioritas utama.
Terbukti, prioritas dalam Repelita III terwujud dalam Repelita IV, saat swasembada pangan dalam sektor pertanian berhasil dicapai. Karena itu, pada periode Repelita IV lebih ditekankan pada industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Hal itu dilanjutkan pada Repelita V yang lebih menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan industri untuk menghasilkan barang ekspor.
Dengan tahapan Repelita I hingga V yang sudah berkesinambungan, Indonesia sebenarnya sudah siap untuk ‘lepas landas’, demikian istilah populer yang berkembang saat itu dalam Repelita VI. Namun sayang, hal itu belum kesampaian. Krisis lebih dahulu menerpa negeri ini. Dimulai dari krisis ekonomi yang melanda Thailand pada Juli 1997, ekonomi Asia ikut terpapar dan terhempas, tak terkecuali Indonesia.
Pada titik terburuknya, nilai tukar rupiah anjlok hingga kisaran Rp 17.000/US$. Ekonomi Indonesia pun tersungkur hingga tercatat (-13,13%) pada 1998 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Ibarat pepatah tidak ada gading yang tak retak, sistem ekonomi Orde Baru pun baru terlihat sisi lemahnya saat Indonesia mengarungi krisis. Pembangunan cenderung terpusat dan tak merata serta posisi Bank Indonesia (BI) yang tidak independen. BI hanya alat penutup defisit pemerintah. Begitu BI tak bisa membendung gejolak moneter, maka terjadi krisis dan inflasi tinggi hingga 80%.
Patut diakui, sejarah lah yang paling jujur berbicara tentang kejayaan sistem ekonomi Orde Baru saat mulai dibangun hingga dilibas krisis moneter (krismon). Meski demikian, inilah catatan sejarah bangsa ini yang harus dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan menjadi milestone bagi generasi akan datang yang lebih baik.
Atas dasar itu, mengenang hari lahir Soeharto ‘Bapak Pembangunan’ tepat tanggal 8 Juni, sudah selayaknya bangsa ini jangan melupakan sejarah. Bagaimanapun juga sejarah harus dicatat sebagai suatu tahapan berharga dalam upaya menuju masa depan yang lebih cerah. Manfaat positif perlu digali dari sejarah tersebut agar kita lebih arif, bijak, dan berwawasan luas guna mewujudkan kemakmuran bagi negeri ini. Sekali lagi, jangan lupakan sejarah.(Dry/INI Network)