Oleh: Ahmad ZR / Yuliawan A
Poskaltim.com, Jakarta – Masyarakat serta pemuka agama diharapkan Ketua Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA), Rita Soebagio untuk dapat mengawal tiga rancangan undang-undang yang berpotensi merugikan bangsa.
Ketiganya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS), Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dan RUU Pernikahan. Menurut Rita, jika RUU P-KS dan RKUHP benar ditunda, maka perjuangan selanjutnya lebih berat.
Karenanya, ketiga RUU tersebut harus benar-benar dikawal, khususnya yang terkait dengan keluarga, rumah tangga, dan perempuan. Ditambah lagi, ke depan komposisi anggota DPR akan berubah.
“Konsen kami di AILA ada tiga perundangan yang kami kawal, yaitu pendewasaan RUU Pernikahan, RUU P-KS dan pasal kesusilaan dalam RKUHP,” kata Rita dalam diskusi publik RUU P-KS di kantor AQL, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).
Masyarakat serta pemuka agama juga menjadi lokomotif dalam mengawal usia remaja generasi muda dimana Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Jika tak diantisipasi dengan pembinaan nilai agama dan pancasila, maka degradasi moral akan terus terjadi.
“Kami juga ironis ada frasa kekerasan seksual dalam RKUHP karena ini akan menjadi lex generalis mereka (pengusung RUU P-KS),” tuturnya.
Dia mengingatkan agar anggota DPR RI Komisi VIII konsisten dengan pernyataannya di rapat dengar pendapat (RDP) beberapa waktu lalu. Saat itu, DPR mengakui Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) masih bermasalah.
Karena itu, RUU yang menuai kontroversi ini akan dibahas di periode mendatang. “Tentunya walaupun mereka mangatakan RUU ini akan di carry over, bisa saja mereka bermain di belakang kita,” kata Rita.
Menurut dia, penolakan keras dari masyarakat menjadi kunci digagalkannya RUU ini. Masyarakat dapat terus menyalurkan aspirasi dan ekspresinya melalui media sosial agar DPR menolak RUU ini atau setidaknya mencabut pasal-pasal kontradiktif.
“Sebab, mereka (pengusung RUU P-KS) juga memakai hal-hal yang sama, memakai influencer dalam menyebarkan pemahaman mereka,” ujarnya.
Rita menilai, belakangan ini korban kekerasan seksual menjadi ‘bahan jualan’ pengusung RUU ini. Seperti perempuan yang melakukan nikah mut’ah dinilai sebagai korban kekerasan seksual karena mendapatkan stigma dari masyarakat sebagai perbuatan menyimpang.
“Ini dalam hukum kita juga tidak dikenal. Mudah-mudahan dengan situasi ini menjadi awareness bahwa ada penyerangan (moral) dari berbagai sisi,” kata dia.
Sebab, yang menjadi institusi paling terancam adalah keluarga. Ketahanan keluarga menjadi kunci ketahanan nasional, jika keluarga rapuh, maka keutuhan bangsa dapat mudah dipecah-belah.
“Menurut mereka konsep pengukuhan keluarga adalah pengukuhan konsep tradisionil dimana didalamnya ada relasi kuasa dan kewenangan tertentu, ini yang disebut timpang,” katanya. (YAN/INI Network)