Oleh: Ahmad ZR / Yuliawan A
Poskaltim.com, Jakarta — Wacana pemindahan ibu kota Negara ke Kalimantan ditanggapi dengan berbagai pro dan kontra. Isu sensitif yang digulirkan presiden Jokowi pada pidato kenegaraan di Sidang MPR/DPR, yaitu tentang rencana pemindahan ibu kota justru menuai kritik, terutama dari pimpinan Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera.
Menurutnya, ide pemindahan ibu kota ini bukan hal yang baru, sudah pernah digulirkan sejak zaman presiden-presiden RI sebelumnya.
“Tetapi yang membuat hal ini cukup sensitif saat ini adalah ide ini digulirkan ketika situasi ekonomi dan keuangan negara lagi berat,” kata Mardani di Jakarta, Selasa (20/8).
Sementara, siapapun belum melihat urgensi pemindahan ibu kota ini. Apakah kalau ibu kota tidak dipindahkan, negara Indonesia ini akan terancam? Dari mana sumber anggarannya dan sapa yang bakal mengelola proyek pembangunan kotanya menjadi sederet pertanyaan.
“Pertanyaan-pertanyaan kritis seperti ini harus kita lontarkan mengingat kebijakan pemindahan ibu kota ini menimbulkan dampak yang serius bagi keuangan negara dan masa depan bangsa kita,” ujar Mardani.
Dari sisi anggaran, rincian sumber anggaran pemindahan Ibu Kota yang direncanakan, total estimasi biaya Rp466 trilyun. Jumlah ini sangat besar bila dibandingkan dengan hutang luar negeri Indonesia dan APBN tahunan Pemerintah.
“Saat ini Utang Luar Negeri Indonesia sudah mencapai Rp5.528 trilyun (Data Bank Indonesia, April 2019), rencana Belanja Negara di RAPBN 2020 sebesar Rp2.528,8 trilyun dengan defisit Rp307,2 trilyun,” katanya.
Besaran rencana Belanja Negara sebesar Rp2.528,8 trilyun ini belum termasuk biaya pemindahan Ibu Kota, karena menurut pemerintah proses pemindahan ibu kota masih dalam tahap kajian dan perencanaan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi menurun menjadi 5,05 persen jauh di bawah pertumbuhan ideal minimal 7 persen.
“Pengangguran terbuka masih tinggi: 6,82 juta orang (5,01 persen), jumlah penduduk miskin: 25,14 juta orang dan industri manufaktur semakin tertinggal,” ujar dia.
Dari data-data tersebut, dapat dilihat masih beratnya kondisi ekonomi dan keuangan negara. Dana yang sangat besar sejumlah Rp466 trilyun sangat tidak tepat ketika digunakan untuk biaya pemindahan ibu kota negara yang kurang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.
“Dana sebesar itu kalaupun ada haruslah digunakan untuk membangun kawasan-kawasan ekonomi dan industri yang tepat sasaran untuk pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah,” ujarnya.
Mengenai aturan tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dari rincian anggaran dapat di lihat dari total estimasi biaya Rp.466 Trilyun, 93,5 persen atau 435,4 trilyunnya adalah dari sektor swasta (KPBU dan swasta).
“Ini sangat membahayakan untuk rencana pembangunan Ibu Kota Negara yang merupakan obyek vital negara,” katanya. (YAN/INI Network)