Pohon tua yang menjadi sarang lebah madu hutan (Apis dorsata) dengan ketinggian hingga 30 meter. Pohon madu bagi masyarakat Dayak Luangan di Desa Tanjung Soke merupakan tabungan yang pohonnya dapat diwariskan kepada anak cucu mereka.

Oleh: Yuliawan A

Poskaltim.com, Sebuah cerita mengalir dari bibir seorang lelaki yang mempertanyakan kepada ayahnya, mengapa keluarga mereka tidak memiliki “pohon madu”. Pohon  yang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah dengan cara mudah dan pohonnya pun dapat diwariskan kepada anak cucu.

Sang ayah berpesan, walau tidak mempunyai pohon madu namun ingin mendapatkan madu setiap tahunnya, maka ia berpesan agar sang anak belajar menjadi pemanjat sarang madu. Sontak jawaban ini menyadarkan Sahman, sang anak, akan nasib tiap-tiap orang yang tidak sama, apalagi setiap orang harus memiliki pohon “uang” tersebut.

Sejak 11 tahun silam, tepatnya sejak tahun 2008, Sahman yang kini juga menjabat sebagai Sekretaris  Kampung Gerunggung, kampung yang berada tidak jauh dari Tanjung Soke, Kecamatan Bongan, Kabupaten Kutai Barat, Kaltim. Sahman disela-sela kesibukan dan rutinitasnya sebagai abdi negara, juga berprofesi sebagai pemanjat atau pemanen sarang lebah madu di pohon-pohon berukuran raksasa.

Pohon-pohon besar yang kerap dihinggapi oleh Lebah Madu Hutan (Apis dorsata) adalah Banggeris, Bilas atau Terake, Pulai dan pohon Jelmu. Pohon-pohon dengan usia puluhan hingga ratusan tahun inilah yang menghasilkan pundi-pundi uang bagi pemilik pohon warisan setiap tahunnya.

Sahman yang berprofesi sebagai pemanjat madu hutan. Menurutnya, keterampilan sebagai pemanjat mulai ditnggalkan anak-anak muda di kampungnya. Pemerintah perlu mendorong warga untuk dapat menghasilkan madu hutan yang berkualitas, bersih dan higenis.

Sahman menuturkan, dalam satu pohon,  lebah hutan dapat membentuk puluhan sarang yang berisi madu. Kadang satu pohon dapat membentuk 10-20 sarang. Satu sarang, jelasnya, paling sedikit dapat menghasilkan antara lima  hingga 10 liter madu murni. Sehingga jika satu pohon, berisi 10 sarang dengan potensi 10 liter madu per sarangnya, maka setiap satu pohon dapat dihasilkan 100 liter madu alam. Dalam setahun, pemilik pohon madu dapat memanen satu hingga dua kali, tergantung musim berbunga pohon-pohon di hutan.

Saat ini di Desa Tanjung Soke dan sekitarnya, harga satu liter madu alam murni dihargai Rp300.000. Jika satu pohon mampu menghasilkan 100 liter madu, maka sekali panen pemilik pohon madu dapat memperoleh pendapatan Rp30.000.000. Satu angka yang fantastis untuk warga yang tinggal di desa terpencil.

Walau begitu, untuk menghasilkan madu-madu yang bernas berisi, pemilik pohon haruslah merawat pohon agar tidak ada tanaman pengganggu seperti akar-akaran yang dapat melilit tubuh pohon. Membersihkan pokok bawah pohon hingga menjaga pohon agar tidak ditebang (dicuri) oleh orang lain.

“Pernah satu waktu kami panen berlimpah mendapatkan sekitar 100-200 liter madu. Tetapi pernah juga kami hanya mendapatkan 20 liter saja. Jadi tergantung nasib dan keberuntungan juga,” ucapnya.

Sahman menjelaskan sistem pengupahan pemanjat madu. Pemanjat  akan mendapatkan bagian 50 persen dari madu yang diperoleh pemiliknya. Sedangkan pekerja lain yang tidak bertugas memanjat, tentu bagiannya akan lebih sedikit ketimbang pemanjat. Ada tiga tugas dalam pemanenan madu hutan ini yaitu, pemanjat pohon, pengambil sarang madu yang telah diulur ke tanah dan pekerja bagian pemrosesan dari sarang ditiriskan menjadi cairan yang siap ditampung.

“Minimal ada tiga pekerja pemetik madu. Jika sarangnya banyak dan kita ingin kerja cepat, maka orangnya harus ditambah,” jelasnya.

Madu dari Desa Tanjung Soke yang dipanen dari hutan-hutan di sekitar kampung. Belum ada pengusaha yang tertarik untuk mengelola madu hutan ini, padahal produksinya berlimpah karena hutan yang masih terjaga dengan baik.

Namun, untuk memanen madu di hutan memerlukan perjuangan. Bahkan bisa dikatakan bahwa taruhannya adalah nyawa si pemanjat. Karena tidak ada pengamanan yang memadai. Untuk mengusir lebah dari sarangnya, ujar Sahman, hanya dengan cara membakar kulit kayu Pohon Kenanga. Asapnya akan menjauhkan lebah dari sarangnya. Itupun, panennya harus di malam hari saat bulan gelap. Karena jika ada sedikit saja cahaya, maka lebah dapat menyerang si pemanjat.

Sahman berharap mendapatkan pelatihan bagaimana cara memanjat pohon dengan memanfaatkan alat-alat modern. Menurutnya, kasus kematian dan luka berat hingga cacat seumur hidup, banyak terjadi.  Untuk itu ia meminta perhatian pemerintah agar diberikan peralatan panjat yang lebih aman dari resiko terjatuh dari ketinggian pohon.

Sementara itu,  Konsultan Development Social Forest Carbon Partnership Facility/  Carbon Fund, Ahmad Wijaya menjelaskan jika sudah ditemukan metode sarang lebah di dahan pohon yang rendah atau istilahnya sarang tipuan. Sarang tipuan ini memanfaatkan dahan yang paling rendah, bahkan dapat dibuat rendah dipermukaan tanah.

“Caranya dengan membuat sarang lebah dengan menggunakan kayu sejenis dengan pohon asal dan menyemprotkan aroma madu ke beberapa titik sarang. Dengan cara ini, diharapkan lebah madu akan hinggap dan membuat sarang lebih rendah,” jelasnya.

Tantangannya saat ini adalah bagaimana cara pemanjatan yang aman, pemanenan di siang hari  dan pemrosesan madu yang lebih higenis dan steril. Begitupun dengan metode budidaya, dengan menggunakan sarang tipuan.

“Metode sarang tipuan ini yang belum kita lakukan (di Kaltim). Madu dari Tanjung Soke ini sangat bermutu. Sebenarnya nantinya madu dari Tanjung Soke ini bisa menjadi ikon bagi ibu kota negara. Karena produksinya berlimpah,” ucap  Jaya.(YAN/RED)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here